Tuesday, June 29, 2010
Double sister in action !
Friday, June 25, 2010
Misteri Rambut Jaka Tingkir
Trio Banteng Ketaton yang terdiri dari Parikesit, Riyanto, dan Karyo itu seperti biasa berkumpul di markas mereka pukul empat sore, sebelum mereka mengaji di TPA Al-Khidmat. Markas mereka yang dibuat oleh ayah Karyo yang bekerja sebagai seorang arsitek. Markas itu dibuat di halaman rumah Parikesit yang luas, sedangkan untuk perabotnya diambilkan dari perabotan rumah Riyanto yang sudah tidak terpakai.
Mereka bertiga punya sebuah buku, buku itu mereka isi dengan daftar tempat-tempat yang akan mereka jelajahi.
”Ok, sekarang mari kita lihat, wilayah mana yang belum kita singgahi.” ujar Riyanto memulai percakapan.
”Hei, coba lihat! Sepertinya tempat ini cocok untuk kita kunjungi.” usul Karyo sembari menunjuk lokasi Mata Air Senjoyo.
”Ya, sebentar lagi kan bulan puasa, sekalian saja kita padusan di sana!” kata Parikesit.
”Jaman sekarang masih padusan? Apalah kata dunia?” celetuk Riyanto.
”Enak aja, keluargaku masih sering padusan sebelum bulan puasa lo.” timpal Parikesit.
”Itu kan buat orang jadul, yang nggak pernah mandi.” kata Riyanto.
”Sudah sudah, jangan ribut terus, padusan itu dilaksanakan agar jiwa dan raga kita bersih dan suci. Jadi ceritanya jaman dahulu kala, ada murid Sunan Kalijaga, namanya Jaka Tingkir. Oleh sunan kalijaga ia dipersaudarakan dengan cucu-cucu Ki Ageng Selo yang bernama Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Penjawi...” ujar Karyo
Belum selesai bercerita Parikesit menimpalinya, ”Ooo... Jaka Tingkir yang nama mudanya Mas Karebet itu ya? Anaknya Ki Kebo Kenanga yang juga berjuluk Ki Ageng Pengging?”
”Iya, betul. Kok kamu bisa tahu, Sit?” tanya Karyo tak percaya.
”Dulu, sebelum tidur aku biasanya diceritakan legenda-legenda jaman dulu oleh eyangku. Kalau tidak salah ayahnya dihukum mati pada masa kesultanan Demak diperintah oleh Sultan Trenggana karena dianggap menyebarkan bibit-bibit pemberontakan.” jelas Parikesit.
”Itu memang pantas, dia kan murid dari Syeh Siti Jenar, seorang wali yang menyebarkan ajaran sesat, yang disebut Manunggaling Kawula Gusti atau bersatunya makhluk dan Tuhannya.” celetuk Riyanto.
”Eit, tunggu dulu, To. Itu kan masih anggapan orang, kita tidak tahu mana yang sebenarnya. Jangan asal ngomong, dong.”
”Betul kata Parikesit. Nah, sepeninggal Ki Ageng Pengging, Nyai Pengging mengajak Mas Karebet untuk menyepi ke desa Tingkir, sehingga Mas Karebet dikenal sebagai Jaka Tingkir, yaitu laki-laki yang tinggal di daerah Tingkir.” lanjut Karyo.
”Ooo... jadi Mas Karebet itu nama lain atau nama kecilnya Jaka Tingkir... ngomong kek dari tadi. Aku baru tahu...” ucap Riyanto.
”Ghhrrr... ini anak bener-bener deh. Dari tadi aku juga udah ngomong!!!” ujar Parikesit gemes.
”Hehehe... maaf, Sit, aku nggak tahu. Ngomong-ngomong gimana kelanjutan ceritanya?”
”Setelah menyepi, Jaka Tingkir bertemu dengan Sunan Kalijaga. Ia diperintahkan untuk bertapa di mata air yang berada di Desa Tingkir. Ia bertapa bratanya lamaaaa... sekali. Seperti saat kita berpuasa di bulan Ramadhan! Bayangkan, rambutnya yang tadinya rapi dan pendek menjadi panjang sekali. Sebagian rambutnya diyakini masih tertinggal di mata air itu. Konon, bila ada orang-orang yang punya niat-niat buruk atau bertindak tidak senonoh, rambut itu akan menjeratnya dan akhirnya mereka tenggelam di mata air itu.” Karyo menghayati dengan penuh perasaan.
”Hiiiii... serem, aku jadi atut... (takut-red)” kata Parikesit.
”Masak kayak begituan aja takut, apalah kata dunia?! Kamu kan laki-laki! Harus berani! Apalagi itu hanya mitos.” celetuk Riyanto.
”Kalau aku rasanya ingin nyeburin para koruptor ke sana, biar mereka tenggelam dijerat rambut sakti Jaka Tingkir! Yeah, kereen...” ucap Karyo.
”Setuju!!!” kedua temannya yang lain menimpali berbarengan.
”Eh ngomong-ngomong, kenapa sih Sunan Kalijaga menyuruh Jaka Tingkir tapa brata juga?” tanya Riyanto penasaran.
”Menurutku, Tapa brata itu dimaksudkan oleh Sunan Kalijaga untuk membersihkan jiwa dan raga Jaka Tingkir.” timpal Parikesit.
”Naah... maka kemudian, sejak saat itulah orang-orang di sekitar situ sebelum bulan puasa berendam di mata air itu untuk mensucikan dan membersihkan diri. Acara itu dikenal dengan istilah padusan. Mata air itu disebut Senjoyo. Masyarakat menganggap kalau memasuki bulan puasa, kita harus bersih jiwa maupun raga.” ucap Karyo.
”Berarti harusnya nggak ada lagi orang yang puasa tetapi korupsi. Orang yang beribadah, sembahyang, tetapi mencuri. Dan sebagainya...” kata Riyanto.
”Yup! Betul. Puasanya nanti percuma deh, sia-sia. Setelah bertapa lama, Jaka Tingkir mendapatkan kemenangan.” lanjut Karyo.
”Kemenangan? Memangnya ada perang ya pada jaman itu?” tanya Parikesit.
”Bukan seperti itu maksudnya. Jadi kemenangan seperti diangkat menjadi Raja Jawa, Kasultanan Pajang. Beliau mendapat gelar Sultan Hadi Wijaya. Selain itu Jaka Tingkir juga mendapatkan kesaktian dari bertapa. Hebat kan?” jelas Karyo.
”Wah hebat sekali. Kayak aku.” ucap Riyanto dengan percaya diri.
”Tapi itu dulu. Kalau sekarang tapa brata itu bagaikan kita saat berpuasa. Sedangkan sesudah puasa kita mendapat kemenangannya bagaikan lebaran. Itu semua kita dapatkan bila kita berbuat baik dan tidak senonoh. Hati-hati lo, kalau nakal nanti dijerat rambut Jaka Tingkir.” kata Karyo sambil menakut-nakuti kedua temannya.
”Hii, memang rambut Jaka Tingkir bisa menjerat kita?” tanya Parikesit penuh rasa ingin tahu.
”Ya itu menurut kepercayaan orang-orang di seputar Senjoyo, kalau ada orang yang berbuat di luar norma-norma susila selama berenang di Senjoyo maka dia akan tenggelam karena dijerat rambut Jaka Tingkir”, jelas Karyo meyakinkan Parikesit
”Haaaaaaaaa!”, tiba-tiba Parikesit pun terkaget dan lari diikuti Riyanto di belakangnya.
”Ini rambut Jaka Tingkir ”, teriak Riyanto menakut-nakuti Parikesit sambil meletakkan ijuk sapu di bahu Parikesit.
”Eh teman-teman sini, aku punya usul, sebentar lagi kan puasa nih...pasti banyak warga Salatiga dan sekitarnya yang melakukan padusan di Senjoyo, bagaimana kalau kita buat acara di sana”, ucap Karyo menghentikan lelucon Riyanto menakut-nakuti Parikesit.
”hhhhh, hhhhhh setujuuu, apa ya kegiatannya?”, kata Riyanto sambil terengah-engah.
”Bagaimana kalau kita mengadakan gerakan kampanye air bersih.”, Parikesit mencoba mengeluarkan ide cemerlangnya.
”Ha...ha...ha... tumben...oke juga nih ide Parikesit, emang harus ditakut-takuti dulu nih, baru keluar ide cemerlangnya.”, Karyo pun memuji Parikesit.
”Oke lah kalau begitu, besok kita kumpul lagi di masjid ini ya, untuk membahas rencana kita.”, papar Riyanto.
”Sip, besok kan hari Minggu, kita semua libur, kumpul di masjid ini jam 8 pagi ya.” kata Karyo
” Insya Allah, ya sudah, aku mau pulang dulu, sudah sore nih.” ucap Parikesit sambil pamit.
”Oke, sampai jumpa besok ya, ingat jam 8.” kata Karyo menegaskan.
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan masjid menuju rumah masing-masing. Sepanjang perjalanan pulang banyak sekali pikiran yang berkecamuk di kepala mereka. Ide-ide kampanye air bersih di Senjoyopun mulai menemani perjalanan mereka pulang.
Sesampainya di rumah, Karyo segera mencuci kakinya, dan langsung lari ke kamar menyalakan internet dan mencari-cari beberapa ide kegiatan yang berkaitan dengan gerakan air bersih. Ia menemukan beberapa kata petunjuk seperti ”save the earth, selamatkan bumi kita” , ”air bersih untuk anak cucu kita” dan masih banyak lagi berita-berita tentang air bersih di internet yang semakin menggelitik pikiran Karyo untuk segera mewujudkannya.
Berbeda dengan Riyanto, sesampainya di rumah, ia langsung lari menuju gudang di sebelah garasi, membongkar tumpukan-tumpukan koran lama. Ia pernah ingat ada seorang wartawan sebuah koran terbesar di Indonesia yang menulis tentang Mata Air Senjoyo.Rasa penasaran Riyanto membuatnya terus bersemangat membuka selembar demi selembar koran yang warna kertasnya sudah mulai pudar karena saking lamanya.
Bagaimana dengan Parikesit? Apa yang dia lakukan untuk mendapatkan ide? Wah, ternyata di tengah malam ia berangkat ke Senjoyo, duduk bersila di atas batu besar, yang letaknya tidak jauh dari pohon beringin yang menaungi Mata Air Senjoyo. Di sana Parikesit mencoba untuk melihat dari dekat mata air yang menghidupi warga Salatiga selama ini dan berharap mendapatkan ide cemerlang yang akan ia bagikan kepada teman-temannya esok hari. Tiba-tiba di tengah semedinya mencari wangsit, ia dikagetkan dengan kehadiran seorang kakek bersorban putih.
”Parikesit anakku, selamatkan Mata Air Senjoyo”, pesan kakek bersorban putih itu sambil mengelus kepala Parikesit.
”Iya..iya kakek Joko Tingkir, hamba siap menyelamatkan Mata Air Senjoyo,” ucap Parikesit penuh keyakinan.
”Kek...kakek...kakek Joko Tingkir....”teriak Parikesit mencari-cari kakek bersorban putih yang tiba-tiba menghilang.
”Parikesit...Parikesit....heh..heh...Nak....bangun...sholat Maghrib dulu, udah adzan lho”, ucap ibu membangunkan Parikesit. Ibu sudah siap mengenakan mukena untuk jamaah sholat Maghrib bersama keluarga.
”Iya...iya kakek Joko Tingkir.....” kata Parikesit sambil membuka matanya.
”Hai, ini ibu, bukan Joko Tingkir”, teriak ibunya sambil meminta Parikesit segera mengambil air wudhu.
”O, aku mimpi rupanya, habis ibu pakai mukena, jadi kukira kakek Joko Tingkir yang bersorban putih dan berjubah putih, seperti di mimpiku tadi”, jelas Parikesit sambil menuju kamar mandi mengambil air wudhu.
[oleh : K. D. Sekararum , hhe ..]